Jumat, 30 Desember 2016

Perkembangan Layanan Bimbingan di Indonesia



Perkembangan Layanan Bimbingan di Indonesia
Perkembangan layanan bimbingan di Indonesia berbeda dengan di Amerika. Seperti tertera pada uraian di atas, perkembangan layanan bimbingan di Amerika dimulai dari usaha perorangan dan pihak swasta, kemudian berangsur-angsur menjadi usaha pemerintah. Sementara di Indonesia, perkembangannya dimulai dengan kegiatan di sekolah dan usaha-usaha pemerintah.
Layanan bimbingan dan konseling di Indonesia telah mulai di bicarakan secara terbuka sejak tahun 1962. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan system pendidikan di SMA, yaitu terjadinya perubahan nama menjadi SMA Gaya Baru, dan berubahnya waktu penjurusan, yang awalnya di kelas I menjadi di kelas II. Program penjurusan ini merupakan respon akan kebutuhan untuk menyalurkan para siswa ke jurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan. Dalam rencana Pelajaran SMA Gaya Baru, diantaranya di tegaskan sebagai berikut :
1)      Di kelas I setiap pelajar diberi kesempatan untuk  lebih mengenal bakat dan minatnya, dengan jalan menjelajahi segala jenis mata pelajaran yang ada di SMA, dan dengan bimbingan penyuluhan yang teliti dari para guru maupun orang tua.
2)      Dengan mempergunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan catatan dalam kartu priba disetiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas II kelompok khusus : Budaya, Sosial, Pasti dan Pengetahuan Alam.
3)      Untuk kepentingan tersebut, maka pengisian kartu pribadi murid harus dilaksanakan seteliti-telitinya.

Perumusan dan pencantuman resmi di dalam rencana pembelajaran di SMA ini disusul dengan berbagai kegiatan pengembangan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti rapat kerja, penataran dan lokakarya. Pucak dari usaha ini adalah didirikannya jurusan bimbingan dan penyuluhan di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri. Salah satu yang membuka Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan adalah IKIP Bandung pada tahun 1963, yang sekarang berganti nama yaitu Universitas Pendidikan Indonesia.
Peran bimbingan kembali mendapat perhatian setelah diperkenalkannya gagasan sekolah pembangunan pada tahun 1970/ 1971. Gagasan pembangunan ini kemudian dituangkan dalam program Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP), yang berupa proyek percobaan dan peralihan dari system persekolahan lama menjadi sekolah pembangunan. Pembentukan SMPP ini dimaktubkan dalam surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 0199/0/1973. Dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan di SMPP ini badan pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah menyusun Program Bimbingan dan penyuluhan SMPP.
Usaha mewujudkan system sekolah pembangunan tersebut dilaksanakan melalui proyek pembaharuan pendidikan, yang diberi nama Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP). PPSP ini diujicobakan di delapan IKIP, yang diantaranya adalah IKIP Bandung dan Jakarta. Badan pengembangan pendidikan, melalui lokakarya-lokakarya telah berhasil menyusun dua naskah penting dalam sejarah perkembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu sebagai berikut:
1)      Pola dasar rencana dan pengembangan program bimbingan dan penyuluhan melalui proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
2)      Pedoman operasional pelayanan bimbingan pada proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak berlakunya kurikulum 1975, yang menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah. Pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini memberi pengaruh yang sangat berarti terhadap perluasan program bimbingan di sekolah.
Setelah melalui upaya penataan, dalam dekade 80-an bimbingan diupayakan agar lebih maju untuk mewujudkan layanan bimbingan yang professional, yang mana dalam dekade ini lebih mengarah pada profesionalisasi yang lebih baik. Yaitu dengan cara penyempurnaan kurikulum. Dari kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984 yang telah ditambah bimbingan karir di dalamnya.
Usaha memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakunya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:” pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.”
Posisi bimbingan yang termaktub dalam undang-undang No.2 di atas diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No.29 Bab X pasal 27/1990 yang menyatakan bahwa” Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.”
Penataan bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 84/1993 tentang  Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam pasal 3 disebutkan tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
Pada tahun 2001 nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berubah menjadi Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN), sehingga menjadikan perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia menjadi semakin bagus (mantap). Pemunculan nama ini dilandasi oleh pemikiran bahwa bimbingan dan konselingan harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan publik.
Berdasarkan penelaahan yang cukup kritis terhadap perjalanan historis gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia, Prayitno mengemukakan bahwa periodesasi perkembangan gerakan bimbingan dan penyuluhan di Indonesia melalui lima periode, yaitu: periode prawacana, pengenalan, pemasyarakatan, konsolidasi, dan tinggal landas.

             Periodesasi Pergerakan Bimbingan dan Konseling di Indonesia
PERIODESASI
PERISTIWA
Periode I dan II:
Prawacana dan Pengenalan (sebelum 1960-1970-an)
Pada periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling sudah dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya diluar negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung (sekarang namanya UPI). Pembukaan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalakan pelayanan BP pada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua in ditandai dengan dua keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
Periode III:
Pemasyarakatan (1970-1990 an)
Pada periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini, pelayanan BP difokuskan pada bidang bimbingan karir. Dan pada periode ini muncul beberapa permasalahan, seperti: (1) berkembangnya pemahaman yang keliru, yaitu mengidentikan Bimbingan karir dengan  Bimbingan Penyuluhan. (2) kerancuan dalam mengimlementasikan SK Menpan No 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur, baik pemahaman maupun implementasinya.
Periode IV:
Konsolidasi (1990-2000)
Pada periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di atas). Pada periode ini ditandai oleh (1) diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling. (2) pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu. (3) mulai diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing. (4) mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing. (5) pola pelayanan BK di sekolah dikemas dalam BK Pola 17, dan (6) dalam bidang kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK. (7) dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI.
Periode V:
Lepas Landas
Semula diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai, sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum terkonsilidasi, yang berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM). Kelemahannya berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommitted para pelaksana layanan. Walaupun begitu pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu: (1) penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), (2) lahirnya undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, yang dimuat di dalamnya ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (bab1 ayat 4). (3) kerjasama pengurus besar ABKIN dengan dikti Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling. (4) kerjasama ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru pembimbing (konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.

Dalam penyelenggaraan program Bimbingan dan Konseling pada saat ini masih ada beberapa persoalan, seperti masih terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah dan jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan, bahkan di sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum ada pengangkatan khusus seorang konselor.

Dampak dari kesenjangan antara jumlah konselor dengan jumlah sekolah, atau jumlah peserta didik adalah:
a)      Masih ada di sebuah sekolah yang belum ada guru pembimbing.
b)      Di sekolah-sekolah tertentu ada guru pembimbingnya meskipun tidak seimbang dengan banyaknya siswa.
c)      Untuk menutupi kekurangan guru pembimbing, tidak jarang kepala sekolah mengangkat guru-guru mata pelajaran(yang jam mengajarnya kurang) menjadi guru pembimbing.
d)     Pengangkatan guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing, disatu sisi memberikan impresi positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada kepedulian kepada sekolah terhadap program BK. Akan tetapi di sisi lain juga berdampak negative bagi profesi pembimbing, yaitu melahirkan citra buruk bagi profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Karena ditangani oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian dalam bidang BK.
e)      Popularitas Bimbingan dan Konseling masih terbatas di dalam kalangan tertentu, di lingkungan (sekolah) yang sudah akrab dan apresiasi terhadap BK, akan tetapi ada juga di kalangan sekolah yang belum memahami secara tepat dan bahkan menaruh citra negative terhadap BK.

sumber:
Yusuf, Syamsu. 2005. Landasan bimbingan & konseling. Bandung: PT Rosdakarya.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar